Jumat, 09 November 2012

Pecundang


Kabut mulai turun perlahan setelah tatapan matamu yang aneh menghampiriku. Kemudian kau hempaskan tubuh klise-mu tepat disebelahku, kau mulai menyentuhku. Ada perasaan aneh yang tak bisa kujelaskan.

"Hei kau yang murung, bunuhlah kesedihanmu! bunuhlah kematianmu!" Suaramu menghampiriku lantang. Tidak tersenyum, tapi kutelan kata-katamu.

Ah, rupanya perasaan telah membuatmu bersedih. "Mengapa manusia suka mempertahankan hubungan yang jelas-jelas membuat mereka tak bahagia?"(1) Sudah kodrat mungkin, aku tak tahu. Itulah pertanyaan yang terus mendesah di kepalaku. Gatal jika kubiarkan, perih jika kulenyapkan dengan cara yang salah.

Mungkin bagimu perpisahan hanyalah berupa kata lain dari sebuah perjumpaan baru. Lagi pula aku juga percaya, hidup sejatinya hanyalah perpisahan yang selalu mempertemukan perjumpaan dengan perpisahan-perpisahan baru.

Mau bagaimana lagi, kau hanya pemuda miskin. Hidup cuma mengandalkan belas kasihan orang. Sedikitpun tak ada yang bisa kau banggakan. "Tinggal di kontrakan yang kotor, tidur di kamar lusuh, makan sehari satu kali dengan nasi kerak yang terkadang malah sudah basi."(2)  Apalagi jika sudah berbicara tentang masa depan. Kau hanyalah manusia yang selalu kalah jika dihadapkan dengan materi. Wajar saja, tak ada yang bisa membuat siapa saja tetap tinggal.

Tak ada yang bisa kau salahkan. 'Dia' terlalu berat untuk membuatmu tetap merasa tanpa beban. Kau terlalu memalukan untuk membuatnya tetap tinggal.

Lagi-lagi, semua membuatku bertanya ...

Cinta macam apa yang penuh dengan kepentingan?
Cinta macam apa yang menempatkan 'aku' di depan dan 'kamu' di belakang?
Cinta macam apa yang memposisikan "aku" lebih tinggi daripada "kamu"?
Cinta macam apa yang memenangkan "aku" dan selalu mengalahkan "kamu"?
Cinta macam apa yang menyita kebebasan?
Cinta macam apa yang mengkambinghitamkan air mata sebagai pelengkap kebersamaan?
Cinta macam apa yang berbahagia dengan kebohongan?
Cinta macam apa yang membudayakan acara pembodohan?
Cinta macam apa yang penuh dengan kepura-puraan?
Cinta macam apa yang menghalalkan pembunuhan makna diam?
Cinta macam apa yang mengharuskan 'aku' untuk selalu memilih 'kamu'?
Cinta macam apa yang memaksakan kamu untuk terus bersamaku?(3)

Bisakah kau menjawabnya? Aku tak tahu, kecuali menjawabnya dengan satu kata, takut.

NOTE:
- (1) Fahd Djibran.
- (3) Diadopsi dari tulisan Fahd Djibran - Tentang Kita.
- Malang, 09 November 2012.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...