Hai malam, rupanya kau di sini. Bagaimana kabarmu? Kau diam tapi berganti. Kau kan yang dulu melihatku telanjang? Bagaimana, indah bukan? Jangan kau ceritakan ini kepada orang-orang. Cukup aku dan kamu yang tahu, bersama Tuhan Yang Maha Tahu.
Kembali lagi dengan cerita yang segalanya di anggap tabu. Tentang mimpi yang begitu dirindukan. Kenapa aku tak mendatanginya saja ya cinta? Berlutut, mengemis sesuatu dengan rendah. Bisa saja aku menangis, memelas penuh iba. Tapi maaf, lagi-lagi aku tak seperti itu. Sorry-sorry, teoriku bukan rakit-rakit ke hulu. Bukan pula merengek tanpa rasa malu.
Beginilah aku dengan segala kebusukanku. Pantas jika semuanya harus aku tanggung. Hitam masa laluku tak mungkin bisa diputihkan, bahkan dengan sepuhan panas sekalipun. Sepertinya ini jawaban dari semua. Aku yang terlalu bangga dengan dosa. Berusaha menata dengan sedikit rendah hati. Mencoba berdiri meski harus tanpa kakiku yang telah lama lumpuh. Aku tak pernah mencoba menghapus cerita itu. Semua begitu kuat mengakar dalam lembutnya harapan yang tak pernah pudar.
Sebagai penguatku, selalu ada ganja yang menari ketika luka yang dulu terkoyak kembali. Tak heran jika langkahku terseok, kemudian jatuh berkali-kali.
Hahahahaa, aku ingin tertawa...
Tweet |
0 komentar:
Posting Komentar