Selasa, 26 Juni 2012

Otonomi Daerah

DESKRIPSI FAKTA


Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah mengubah peta politik dalam penataan kewenangan dan kewajiban pemerintah. Sentralisasi yang dikalukan pada orde baru membuat birokrasi di daerah mandul, inovasi bagi pemerintah daerah menjadi “mati”, dan pengembangan-pengembangan terobosan untuk percepatan pembangunanpun tidak ada. Sentralisasi menimbulkan disparitas pendapat yang sangat lebar antar daerah, misalnya alokasi dalam penggunaan anggaran negara dan kelambanan dalam kmenuntaskan persoalan. (Djoko Sudantoko:3/2003) Penetapan UU No 20 / 1999 menjadikan pemerintah daerah mempunyai kewenagan yang “riil” dalam mengatur diri kecuali pertahanan, agama, hubungan luar negeri, moneter, dan hukum. Hal ini memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan sumber dayanya tanpa menunggu petuah-petuah dari pusat. Tidak akan ada lagi berdiri proyek-proyek yang tidak membumi dan tidak berkaitan dengan masyarakat (Djoko S. 2003:4)

Akan tetapi di tengah-tengah pembangunan daerah dilaksanakan, muncul berbagai permasalahan tak terduga yang mengarah pada disintegrasi pemerintahan vertikal di atasnya dan muncul begitu banyak egoisme kedaerahan yang merasa mempunyai kekuasan besar untuk mengatur segalanya atas nama bingkai UU No. 22/1999. Menurut Djoko Sudantoko hal tersebut terjadi akibat kurang tegasnya persepsi bentuk otonomi daerah.

PEMBAHASAN DAN SOLUSI

Arti Otonomi Daerah

Hakikat otonomi daerah adalah efisiensi dan efektifitas dalam penyelanggaraan pemerintahan yang pada akhirnya bernuansa pada pemberian pelayanan kepada masyarakat yang hakikatnya semakin lama semakin baik, disamping yntuk memberi peluang peran serta masyarakat dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan secara luas dalam konteks demokrasi ( HAW. Wijaya Pemerintahan Desa, 2001:41)

Menurut Manwood mendefinisikan otonomi daerah sebagai a freedom which is assumed by alocal government in both making and implementing it’s own decision. Dalam konteks Indonesia , otonomi daerah didefinisikan sebagai hak, wewenang, dan tanggung jawab daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Hal ini diatur dalam UU No 25/1975 tentang pemerintah daerah lalu kemudian pada UU No 22 / 1999. Juga tertuang dalam ketetapan MPR-RI No.XV/MPR/1988 tentang penyelenggaraan otonomi daerah , pengaturan, pembagian, dam pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, otonomi daerah juga didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah No.84 Tahun 2000, selanjutnya Peraturan Pemerintah nomor 104, 105, 106, 107, 108, 109, dan 110 Tahun 2000 dan ketentuan lainnya yang relevan.

Luas dan Isi Rumah Tangga Daerah

Pada prinsipnya luas atau batas rumah tangga suatu daerah itu, dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu: sudut teritorium, luasnya kekuasaan suatu daerah otonomi itu terbatas sampai wilayahnya saja; sudut materie, isi dan luas rumah tangga daerah itu tergantung dari sistem rumah tangga yang di gunakan. Menurut Van der Pot dan The Liang Gie dalam Tjahya Supriatna terdapat tiga ajaran yang sangat terkenal mengenai isi dan luasnya rumah tangga daerah, yaitu:
a)      Rumah Tangga Secara Meteriil
b)      Rumah Tangga Secara Formal
c)      Rumah Tangga Secara Riil

Pelaksanaan Otonomi Daerah

Di atas telah dijelaskan arti dari otonomi daerah, jika dikelompokkan otonomi bagi suatu daerah harus mampu:
a)      Berinisiatif sendiri (Menyusun kebijaksanaan daerah dan meyusun rencana pelaksanaannya)
b)      Memiliki alat pelaksanaan sendiri yang Qualified
c)      Membuat peraturan sendiri (Perda)
d)     Menggali sumber-sumber keuangan sendiri, menetapkan pajak, retribusi dan lain-lain usaha yang sah sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Jelaslah bahwa dengan otonomi daerah dapat dipandang sebagai cara untuk mewujudkan secara nyata penyelanggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien dan berwibawa guna mewujudkan pemberian pelayanan kepada masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan otonomi daerah juga merupakan keterikatan kuat antara daerah satu dengan daerah lainnya, di samping menumbuh kembangkan semangat kebersamaan dalam simpul Negara Kesatuan Republik Indonersia.

Keuangan Daeah

Pemberian UU No. 22 tahun 1999 memberikan kewenangan pada daerah untuk mengatur rumah tangganya sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah. Pada pasal 10 (1)UU 22/1999 disebutkan daerah berwenangmengelola sumber daya nasional yang terdapat di saerahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya pendapatan daerah terdiri dari:
a)      Pendapatan Asli Daerah (PAD)
b)      Dana Perimbangan
c)      Pinjaman Daerah
d)     Lain-lain penerimaan yang sah

PAD terdiri dari pajak, retribusi, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan seperti baghian laba, deviden dan penjualan saham milik daerah, serta pinjaman-pinjaman lain. Dana perimbangan terdiri dari (Widjaja,2002:110):
a)      Bagian daerah dari penerimaan pajak Bumi dan Bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHAB), dan penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA)
b)      Dana Alokasi Umum (DAU)
c)      Dana Alokasi Khusus (DAK)

Solusi

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam otonomi daerah, kami penulis mencoba memberikan saran yang dapat dilakukan dimasa mendatang. Ini adalah langkah-langkah pencegahan menurut Bambang Yudoyono, antara lain :
1.      Kegiatan pemberdayaan dan pendidikan politik kepada rakyat perlu diintensifkan. Hal ini bisa dilakukan melalui berbagai pendekatan oleh birokrasi publik, institusi politik, LSM dan Lembaga sejenis serta perorangan. Bagaimanapun rakyat adalah sumber utama yang akan menghasilkan kader-kader pimpinan lokal dan nasional di masa mendatang. Dengan tingkat pemahaman dan kesadaran politik yang tinggi dari rakyat, diharapkan proses rekrutment politik dan pemerintah akan berlangsung secara rasional dan akuntabel. DPRD tidak lagi diisi oleh orang-orang yang semestinya, melainkan orang-orang yang memang berkemampuan dan representatif. Sedangkan jabatan-jabatan birokrasi publik benar-benar diisi oleh orang-orang  yang profesional dan memahami budaya rakyat di daerahnya.
2.      Pelaksanaan dekosentrasi dan medebewind perlu di arahkan untuk mendukung keberhasilan otonomi daerah, dengan sasaran vital pada pemupukan persatuan dan kesatuan bangsa, komit terhadap negara kesatuan Republik Indonesia, nasionalisme yang humanistik, pemantapan karakter bangsa, serta penegakan demokrasi dan keadilan sosial.
3.      Perlu ketegasan operasional penegakan supremasi hukum yang mencakup:
a)      Peninjauan kembali terhadap produk-produk hukum yang kurang memberi perlindungan terhadap kepentingan nasional dan kepentingan rakyat di daerah.
b)      Pengawasan represif terhadap berbagai peraturan daerah perlu dilakukan secara intensif untuk mencegah kemungkinan adanya ketentuan-ketentuan yang berlawanan dengan kepentingan nasional dan kepentingan rakyat di daerah.
c)      Penerapan sanksi dengan tindakan tegas perlu diberikan kepada daerah-daerah yang menunjukkan adanya indikasi pembangkangan terhadap NKRI. Sebab dengan pemberian kewenangan yang sedemikian luas dikhawatirkan dapat disalahgunakan untuk upaya melepaskan diri dari kontrol pemerintah pusat.
4.      Sesuai prinsip-prinsip ”membangun tanpa uang ”, perlu disosialisasikan kepada seluruh daerah otonom agar jangan mengutamakan peningkatan PAD, tetapi lebih menekankan pada penggunaan kewenangan untuk meningkatkan kreativitas dalam memberikan pelayanan dan pemberdayaan rakyat. Sebab jika yang diutamakan adalah PAD dikhawatirkan akan terjadi eksploitasi secara besar-besaran terhadap SDA yang berarti mengancam kelestarian lingkungan hidup.

KESIMPULAN

Pelaksanaan otonomi daerah kelihatannya memang sederhana. Namun sebenarnya mengadung pengertian yang cukup rumit, karena didalamnya tersimpul makna pendemokrasian dalam arti pendewasaan politik rakyat daerah, pemberdayaan masyarakat sekaligus bermakna mensejahterakan rakyat yang berkeadilan (Korwara dalam Bambang Yudoyono, 2003 : 7). Bagaimanapun tuntutan pemerataan, tuntutan keadilan yang sering dilancarkan baik di bidang ekonomi dan politik pada akhirnya akan menjadi ”relatif dan dilematis”, jika tergantung pada tinjauan perseptif yang berbeda. Contohnya : Pemerintah merasa cukup dalam pemerataan pembangunan ekonomi, tetapi daerah menganggap bahwa hasil eksploitasi risosis daerah yang ditarik pusat jauh tidak seimbang dengan hasil yang dikembalikan kepada daerah. Ini berarti potensi SDA di daerah kurang dapat dinikmati oleh masyarakat daerah tersebut. Secara keseluruhan daerah tertentu yang merasa kaya SDA hanya mendapat beberapa persen saja. Sedangkan sebagian besar dinikmati oleh pusat tanpa di ketahui penggunaannya.

DAFTAR RUJUKAN

Widjaja, HAW. 2001. Pemerintah Desa / Marga berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada.
Sudantoko, Djoko. 2003. Dilema Otonomi Daerah. Yogyakarta : Andi Yogyakarta.
Widjaja, HAW. 2002. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta : P.T Raja Grafindo Persada.
Widjaja, HAW. 1992. Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II. Jakarta : P.T Raja Grafindo Persada.
Yudoyono, Bambang. 2003. OTONOMI DAERAH : Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

2 komentar:

Darmawan Saputra mengatakan...

wuihh... ini yg kucari cari dari tadi.
info yg bermanfaat sekali..
ijin bookmark ya :D



#Semoga Sehat Selalu

Sebuah Pelarian mengatakan...

Silakan mas...
Makasih kunjungannya, semoga sehat selalu juga, amien

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...