Selasa, 27 Maret 2012

Laki-Laki Abu-Abu


Dia bisa terlihat seperti hitam atau putih disaat bersamaan. Aku menuliskan tentangnya bukan karena aku sangat tahu mengenai laki-laki abu-abu ini. Hanya pernah bertemu dan semua berubah menjadi abu-abu. Dia seperti hujan, indah, romantis, menyimpan misteri, menyimpan rahasia, membuat pelangi, membuat petir, membuat langit menitikkan air, menyedihkan dan menggembirakan disaat bersamaan. Dialah abu-abu.

Dia bicara tanpa berpikir itu akan menyenangkan atau membosankan, tapi dia tahu apa yang dia bicarakan. Dia menangis juga, atau selalu tertawa. Matanya, alisnya, bulu matanya, kupingnya, hidungnya, bibirnya, giginya, jari-jarinya, rambutnya... yang tak kutahu hanya bau parfumnya. Aku tak berniat untuk bergegas menghapus memori tentang laki-laki abu-abu ini. Mumpung ingatanku masih baik, mumpung jatah umurku masih panjang mungkin, mumpung abu-abu masih menjadi abu-abu. Bukan hitam, atau putih.

Kubilang semua menjadi abu-abu. Tuhan, alam, bau, cerita, harapan, langit, semuanya. Berharap pada Tuhan untuk mengabulkan do’a agar tak pernah bertemu dengan lelaki macam ini lagi, atau terjadi sesuatu yang sebaliknya. Keduanya begitu kuat. Antara menghapus semua memori dan tetap mempertahankan ingatan ini, keduanya begitu kuat.

Aku tak tahu jalan pikirnya, atau aku sangat tahu apa yang ingin diperlihatkannya. Ia selalu abu-abu. Tak pernah benar menjadi hitam, atau putih. Dia sudah lama menjadi penari dalam pentas seni otakku. Atau hanya menjadi patung dalam museum usang diotak ini juga. Terkadang membuka kembali menjadi sebuah konser megah nan indah hingga lagu-lagu lama bermunculan di kuping dunguku. Menghasilkan senyum sedih atau tangis bahagia disaat bersamaan. Menjadi tak wajar sekali sampai aku tak akan bisa menceritakan ini kepada semuanya.

Dia selalu abu-abu. Tak bisa benar-benar disalahkan tapi dia tak mungkin selalu benar. Hingga perkataan maafnya pun terdengar begitu indah tanpa berpikir apa yang harus dimaafkan. Ketika kata maaf yang dia ucapkan, semua kesalahan seperti menjadi benar, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Dia memaksaku menjadi dungu, menjadi bodoh, menjadi jelek, menjadi orang paling hina di dunia. Apakah aku merasa bodoh, hina, jelek, dungu? Kedua ujung bibirku tertarik kearah luar.

Dia, laki-laki abu-abu itu membuatku membenci cerita, novel, film romantis. Tapi membodohiku untuk menelan kata-kata busuk dalam cerita-cerita itu. Membuatku berkhayal semakin tinggi hingga aku tak pernah mau jatuh. Membuatku merasa hanya ada aku di dunia dan yang lain hanya monyet dan kambing saja. Sekali lagi aku hanya orang yang pernah bertemu lelaki abu-abu ini, tak pernah sekalipun aku mengenalnya. Mungkin pernah kucoba mengenalnya, tapi dia bukan orang yang putih, sehingga aku dengan mudah mengenalnya, atau terlalu hitam hingga aku tanpa pertimbangan untuk menjauhinya. Dia abu-abu.



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...